Friday, February 06, 2009

Teror Demam Berdarah di Musim Caleg

Wah, bener-bener deh. Demam berdarah meneror kompleks kami. Dalam minggu-minggu ini di gang rumahku aja, ada 10-11 orang terserang penyakit mematikan itu. Semua rumah sakit penuh. Tetanggaku dan teman yang terserang penyakit itu tersebar di rumah sakit. Dari RS International Bintaro sampai RS Ashobirrin di Serpong sana. Temanku yang orang Cireundeu, terpaksa harus membawa anaknya ke RSI MH Thamrin di Salemba Jakarta Pusat sana. Seorang tetanggaku, diperiksa darah di RS Bintaro tetapi dirawat di RS Eka Hospital, BSD. Padahal dia udah minta bed untuk menggantikan tetanggaku yang akan pulang, setelah sembuh dirawat DBD di RS itu. "Tempat tidur, sudah ada yang booking" kata si perawat. Gelo ya!? Kayak hotel aja.
Tetangga, saudara-saudara terdekat saya di komplek, bukannya cicing wae alias tinggal diam. Mereka juga langsung kalang kabut membasmi sumber-sumber pembiakan nyamuk. 3M: bukan cuma dihapal tetapi dilakukan bener. Menguras, Menutup dan Mengubur sumber-sumber air jadi pada jago. Sekarang malah kudu ditambah 1M lagi: memangkas semak sekitar rumah kita. Bukan cuma, itu di dalam rumah juga disemprot obat nyamuk sehari dua kali-- kayak minum obat aja--.Ada juga yang rumahnya jadi berkabut terus, karena obat nyamuk bakar seharian dibakar.. ngebul deh.  Pabrik obat nyamuk laku deh.
Sahabat baiku di kantor, wartawan terkenal Pak Bas Politika malah  di kompleknya udah jadi pejabat Jumantik alias Juru Mantau Jentik ! Di kompleknya, di bilangan Lebak Bulus,  juga ada belasan orang diserang penyakit DB.
Pokoknya teror DB benar-benar itu mengepung kami. Jangan-jangan malah lebih serem daripada menanti harap-harap cemas serangan bom posphor Israel. Anak saya bahkan sambil melindur di tidurnya: "Takut virus DB, takut virus DB...." katanya. Padahal setiap habis mandi, badannya tuntas dibalur minyak sereh, yang dipercaya bisa mencegah gigitan maut si nyamuk itu.
Saya yang bukan dokter, tetapi kalo doktor mungkin iya.. (tukang ngodok yang kotor-kotor) juga sedikit paham gejala orang diserang demam berdarah: kepaa pusing banget, demam tak berhenti, badan ringsek pegal-pegal terutama pinggul. Cek darah deh kalau udah merasa begitu. Sekarang malah penyakit itu seperti menyaru bak tipes. Ada juga yang didahului radang tenggorokan tak kunjung sembuh.
Menyemprot untuk membasmi nyamuk terbang, seringkali kami lakukan. Bukan pemerintah pula yang melakukan. Kami harus mencari ke sana kemari, tukang semprot atau perusahaan penyemprot hama. Sialanya, bayarannya lumayan mahal. Sekitar Rp 25-30 ribu per rumah. Uang segitu mungkin cuma semangkuk bakso, tapi cobalah Anda menjadi pengurus RT: wah, rasanya jadi perlu menyewa debt collector deh untuk menagihnya ke warga. Susah banget: belum tentu lo orang dengan suka rela membayar.
Merasa sulitnya sewa mesin semprot, beruntung ada saudara tetangga yang mau meminjamkan alat semprot itu. Kami mengambilnya malam-malam di satu daerah Jakarta Timur. Wah, kaget juga ternyata alat itu sangat antik. Buatan Jerman tahun 1908 !! Alhamdulillah mesin itu masih berfungsi dengan baik dan bisa dipakai semprot-semprot. Kami berencana melakukan penyemprotan itu 2-3 kali di komplek kami, dengan biaya yang lebih murah dibanding menyewa rent to kill (astaga ini perusahaan kok kejem banget ya namanya, disewa untuk membunuh... weh!)

Cuma ya itu tadi. Cuma ya itu tadi mungkin karena kami amatarin dengan suasana teror demam berdarah, para pejuang anti nyamuk demam berdarah pun melakukan penyemprotan hingga malam hari. Entah, apakah nyamuk sialan itu pada mati atau menghilang dari komplek kami, yang jelas: semua permukaan rumah, dari lantai hingga furniture menjadi licin karena solar yang disemprotkan alat buatan Jerman tahun jebot itu. (Saya malah curiga, jangan-jangan alat itu digunakan untuk menganiaya kaum Yahudi oleh tentara NaZi dulu..).
Kasian banget ya rakyat kita. Banting tulang berjibaku melawan nyamuk demam berdarah. Mana itu para caleg dan pejabat kesehatan yang posternya di mana-mana. Kalau ada caleg yang mau kampanye dengan melakukan penyemprotan di kampung kami, kami mungkin dengan senang hati akan menerimanya. Cuma belum tentu memilih Anda, enggak haram kan kalo memilih caleg yang enggak bisa dipercaya. MUI  cuma bilang, haram hukummnya menjadi golput karena masih ada caleg yang baik..

Thursday, February 05, 2009

"Presiden Cililin"

Di tengah hirup pikuk dan usaha jungkir balik sejumlah tokoh mencalonkan diri sendiri, dari menjadi calon caleg hingga calon presiden, saya saling mengirim SMS dengan sahabat baik saya, Mang Jamal. Dari sekedar bertanya cuaca, kami ber-SMS hingga ke soal rencana pemberian doktor honoris causa dari ITB kepada Presiden Yudhoyono.
 Penulis sejumlah novel itu-- Lousiana, Lousiana, Epigram, Dong Mu-- malah mengisengi saya. Dia mengirim SMS mencalonkan diri mau menjadi menteri. "Jika Kang Ush, menjadi presiden," kata SMS Jamal. Secara spontan saya menjawab, "Ya, Presiden Cililin!ha..ha:)"

Ingatan saya segera saya terbuai ke masa kecil saya, di Batujajar, sebuah kota kecamatan di kawasan Bandung Barat. Kampung saya tidak jauh dari kecamatan lain, namanya Cililin sebuah kota santri yang terkenal dengan kelegitan wajitnya. Makanan terbuat dari ketan dan gula merah yang dibungkus daun jagung.
Eh, saya tidak bermaksud menceritakan wajit. Saya terkenang,waktu seumur teman saya ingusan (saya tidak lo), tersebutlah "Presiden Cililin".
 Entah siapa yang memulai, sebutan kami-- anak-anak ololeho (ingusan)-- itu ditujukan kepada seseorang yang sepertinya agak sakit-- kami menyebutknya rada gelo, agak gila. Namanya, Juned. Atau kami biasa memanggil, Si Juned.
Bagi saya dan teman-teman Si Juned, bukanlah orang gila. Gayanya memang mirip atau dimirip-miripkan--orang gila (maaf saya pakai istilah umum). Sepertinya dia mendesain khusus bajunya. Bajunya terbuat dari kain perca berbagai bahan dan warna yang disambung-sambung. Namun begitu, baju itu tidaklah kotor atau lusuh  seperti umumnya orang lupa ingatan. Baju itu rapih dan bersih. Saya tidak tahu, apakah dia punya beberapa stel "pakaian dinas" seperti itu.
Kadangkala, terlihat pula di bajunya itu dipasang berbagai simbol pangkat. Wajahnya pun selalu klimis bersih, walaupun saat itu sepertinya belum ada salon atau klinik kulit yang bisa mengencangkan wajah, dan menghilangkan noda di wajah.

Pekerjaan Juned secara berkala-- memang tidak setiap hari, sepertinya berkala: lain hari- beda kampung-- adalah berkeliling dari rumah ke rumah atau dari toko ke toko. Dia bukanlah mengemis dengan meminta belas kasihan. Apa yang dia lakukan di setiap beranda rumah atau depan toko adalah : berpidato !
Saya masih ingat, prosesi dia sebelum berpidato. Biasanya si Juned, jalan di tempat seperti orang berbaris. "Brenti, Hormaat graaak!!", dia memerintah dirinya sendiri. Hormatnya tegap, seperti terlatih. Tidak jarang, kami yang memberi perintah. Dalam pikiran saya waktu itu, hebat juga ya bisa memerintah "presiden".
Setelah berdiam senjenak, si Juned berancang-ancang. Telapak tangannya dibentuk mirip corong pengeras suara di mulutnya. Nah, barulah dia berpidato. Isi pidatonya memang seru. Mirip pidato pejabat atau elit parpol jika sedang berpidato. Berteriak-teriak, berbagai hal dengan sok pintar dia bahas. Tak peduli apakah orang mendengar atau tidak, pokoknya dia membual, berbusa-bisa kata-katanya. Kata-katanya tegas dan teratur. Sesekali menunjuk-nunjuk ke arah penonton, yang tidak hanya anak-anak tetapi dewasa. Biar tambah seru dan semangat tak lupa kami memberi tepuk tangan. Setelah selesai pidato, tangannya dengan cekatan akan mengambil uang yaKang diberikan pemilik toko atau tuan rumah. Selanjutnya, dia akan berpindah ke tempat lain dan berpidato, melakukan hal yang sama.
Kami semua maklum, dan percaya betul bahwa Presiden cililin itu tidaklah gila. Dia membual, berpidato, berbanyak kata-kata, tidak kerja itu merupakan mata pencaharian. Saat itu kami, anak-anak, berpikir lumayan juga pendapatan dia setiap harinya. Kalau setiap rumah saja mendapat Rp 10-25 (saat itu, harga kerupuk putih seringit, kalau enggak salah) ) dikalikan berapa puluh rumah sudah berapa banyak kekayaan dia. Belakangan memang tersiar kabar, jika sebenarnya Juned, Presiden Cililin itu--katanya-- cukup mapan hidup di kampungnya. "Bahkan, rumahnya gedong (bangunan gedung, megah)," kata kami bertukar isu.
Namun walaupun disebutkan, bekerja seperti Presiden Cililin itu bisa menjadi "kayak" raya, saya dan teman-teman hingga sekarang dewasa, tidaklah terbesit bercita-cita menjari presiden, apalagi menjadi seperti Presiden Cililin.
Sialnya ingatan saya terhadap "Presiden Cililin" itu selalu terbuka kembali ketika mencermati tindak tanduk para elit yang berjibaku ingin menjadi presiden. Ada yang keukeuh ingin menjadi presiden, walaupun belum jelas partainya yang mencalonkannya, atau kalaupun ada belum parti partainya menang electoral threshold atau tidak; Ada juga yang bergaya sudah seperti presiden, seolah-olah seluruh masalah negeri ini bisa diselesaikan dengan menjentikan jari; Ada yang sepertinya sangat begitu merakyat. Pembela kebenaran dan keadilan siap menegakan hukum... wah, silakanlah Anda catat sendiri.
 Saya, kan cuma mau cerita "Presiden Cililin"...
(http://www.agushermawan.kompasiana.com)