Thursday, February 05, 2009

"Presiden Cililin"

Di tengah hirup pikuk dan usaha jungkir balik sejumlah tokoh mencalonkan diri sendiri, dari menjadi calon caleg hingga calon presiden, saya saling mengirim SMS dengan sahabat baik saya, Mang Jamal. Dari sekedar bertanya cuaca, kami ber-SMS hingga ke soal rencana pemberian doktor honoris causa dari ITB kepada Presiden Yudhoyono.
 Penulis sejumlah novel itu-- Lousiana, Lousiana, Epigram, Dong Mu-- malah mengisengi saya. Dia mengirim SMS mencalonkan diri mau menjadi menteri. "Jika Kang Ush, menjadi presiden," kata SMS Jamal. Secara spontan saya menjawab, "Ya, Presiden Cililin!ha..ha:)"

Ingatan saya segera saya terbuai ke masa kecil saya, di Batujajar, sebuah kota kecamatan di kawasan Bandung Barat. Kampung saya tidak jauh dari kecamatan lain, namanya Cililin sebuah kota santri yang terkenal dengan kelegitan wajitnya. Makanan terbuat dari ketan dan gula merah yang dibungkus daun jagung.
Eh, saya tidak bermaksud menceritakan wajit. Saya terkenang,waktu seumur teman saya ingusan (saya tidak lo), tersebutlah "Presiden Cililin".
 Entah siapa yang memulai, sebutan kami-- anak-anak ololeho (ingusan)-- itu ditujukan kepada seseorang yang sepertinya agak sakit-- kami menyebutknya rada gelo, agak gila. Namanya, Juned. Atau kami biasa memanggil, Si Juned.
Bagi saya dan teman-teman Si Juned, bukanlah orang gila. Gayanya memang mirip atau dimirip-miripkan--orang gila (maaf saya pakai istilah umum). Sepertinya dia mendesain khusus bajunya. Bajunya terbuat dari kain perca berbagai bahan dan warna yang disambung-sambung. Namun begitu, baju itu tidaklah kotor atau lusuh  seperti umumnya orang lupa ingatan. Baju itu rapih dan bersih. Saya tidak tahu, apakah dia punya beberapa stel "pakaian dinas" seperti itu.
Kadangkala, terlihat pula di bajunya itu dipasang berbagai simbol pangkat. Wajahnya pun selalu klimis bersih, walaupun saat itu sepertinya belum ada salon atau klinik kulit yang bisa mengencangkan wajah, dan menghilangkan noda di wajah.

Pekerjaan Juned secara berkala-- memang tidak setiap hari, sepertinya berkala: lain hari- beda kampung-- adalah berkeliling dari rumah ke rumah atau dari toko ke toko. Dia bukanlah mengemis dengan meminta belas kasihan. Apa yang dia lakukan di setiap beranda rumah atau depan toko adalah : berpidato !
Saya masih ingat, prosesi dia sebelum berpidato. Biasanya si Juned, jalan di tempat seperti orang berbaris. "Brenti, Hormaat graaak!!", dia memerintah dirinya sendiri. Hormatnya tegap, seperti terlatih. Tidak jarang, kami yang memberi perintah. Dalam pikiran saya waktu itu, hebat juga ya bisa memerintah "presiden".
Setelah berdiam senjenak, si Juned berancang-ancang. Telapak tangannya dibentuk mirip corong pengeras suara di mulutnya. Nah, barulah dia berpidato. Isi pidatonya memang seru. Mirip pidato pejabat atau elit parpol jika sedang berpidato. Berteriak-teriak, berbagai hal dengan sok pintar dia bahas. Tak peduli apakah orang mendengar atau tidak, pokoknya dia membual, berbusa-bisa kata-katanya. Kata-katanya tegas dan teratur. Sesekali menunjuk-nunjuk ke arah penonton, yang tidak hanya anak-anak tetapi dewasa. Biar tambah seru dan semangat tak lupa kami memberi tepuk tangan. Setelah selesai pidato, tangannya dengan cekatan akan mengambil uang yaKang diberikan pemilik toko atau tuan rumah. Selanjutnya, dia akan berpindah ke tempat lain dan berpidato, melakukan hal yang sama.
Kami semua maklum, dan percaya betul bahwa Presiden cililin itu tidaklah gila. Dia membual, berpidato, berbanyak kata-kata, tidak kerja itu merupakan mata pencaharian. Saat itu kami, anak-anak, berpikir lumayan juga pendapatan dia setiap harinya. Kalau setiap rumah saja mendapat Rp 10-25 (saat itu, harga kerupuk putih seringit, kalau enggak salah) ) dikalikan berapa puluh rumah sudah berapa banyak kekayaan dia. Belakangan memang tersiar kabar, jika sebenarnya Juned, Presiden Cililin itu--katanya-- cukup mapan hidup di kampungnya. "Bahkan, rumahnya gedong (bangunan gedung, megah)," kata kami bertukar isu.
Namun walaupun disebutkan, bekerja seperti Presiden Cililin itu bisa menjadi "kayak" raya, saya dan teman-teman hingga sekarang dewasa, tidaklah terbesit bercita-cita menjari presiden, apalagi menjadi seperti Presiden Cililin.
Sialnya ingatan saya terhadap "Presiden Cililin" itu selalu terbuka kembali ketika mencermati tindak tanduk para elit yang berjibaku ingin menjadi presiden. Ada yang keukeuh ingin menjadi presiden, walaupun belum jelas partainya yang mencalonkannya, atau kalaupun ada belum parti partainya menang electoral threshold atau tidak; Ada juga yang bergaya sudah seperti presiden, seolah-olah seluruh masalah negeri ini bisa diselesaikan dengan menjentikan jari; Ada yang sepertinya sangat begitu merakyat. Pembela kebenaran dan keadilan siap menegakan hukum... wah, silakanlah Anda catat sendiri.
 Saya, kan cuma mau cerita "Presiden Cililin"...
(http://www.agushermawan.kompasiana.com)

1 comment:

Deny Suwarja said...

Presiden Juned... tukang cocorowokan dina beus Margalaksana, make baju biru beureum tatambalan, pangkatna pinuh...pidato bari nungkupkeun ramo kana mulutna. Pernah rek gelut jeung Mang Juli (tukang mawa blek kencleng) asana mah nya heheheh...basa keur sepak bola Rajawali Mas...