Sunday, August 24, 2008

anak media aceh

Tengah Agustus, Deny Spider ujug-ujug telepon. Deny, penggiat Children Center di Aceh, yang saya kenal saat  kejadian tsunami 2004 lalu itu ngajak saya ke Aceh lagi. Katanya, temen-temen Konsorsium Pusaka Aceh mau ngadain workshop media anak, butuh nara sumber. Ya, namanya temen, apalagi buat anak-anak, saya langsung oke. Gun Gun-- juga anak Bandung-- yang kini di Aceh pun, kontak saya untuk konfirmasi.
Saya berangkat Jumat sore, dan ngasih workshop keesokan harinya serta hari Minggu (23-24 Agustus). Senang sekali melihat antusias sekitar 60an peserta yang terdiri dari rekan-rekan media di aceh (radio dan cetak) serta anak-anak binaan Children Center.
Karena saya bukan orang pinter, jadi kesempatan digunakan untuk sharing saja, sekedar bertukar pengalaman mengenai media.
Anak-anak itu, mengelola radio anak dan majalan Aneuk Atjeh. Selama ini mereka didukung dana oleh Unicef. Cuma namanya donor kan gak selamanya bisa bertahan. Katanya, Desember ini program itu akan selesai. Padahal mereka ingin sekali aktivitas radio dan majalah mereka tidak berhenti begitu saja. Mereka ingin meneruskannya, dan berharap ada yang mau mendukung mereka, baik itu instansi, lembaga, perusahaan atau siapa saja.

Sedih dan terharu juga rasanya, melihat antusiasme mereka. Selama dua hari acara, peserta sekitar 60-an orang itu selalu hadir. Saling berbagi pendapat dan saling menguatkan. Hi,,hi coba kalau di Jakarta, begitu ishoma, peserta pasti sudah bisa dihitung jari, itu pun jari tangan sebelah.
Anak-anak media--- mereka menyebut dirinya begitu-- terlihat begitu dewasa dan terlatih berbicara dengan runtut, bernas mengenai persoalan-persoalan yang mereka hadapi. Mereka--- anak-anak korban tsunami-- kini telah "tumbuh dewasa" sebagai manusia-manusia yang cerdas dan mandiri. Saya jadi ngebandingin dengan anak-anak Jakarta atau kota besar yang sepertinya bisa mendapatkan apa saja, dan menghabiskan hidupnya di mal-mal. Mereka bisa bermanja-manja dan dibodoh-bodohi oleh gosip selebritis, sinetron bodoh atau jadi target konsumerisme produk apa pun.

Anak-anak yang saya temui di Aceh, selama akhir pekan kemarin, adalah anak-anak yang berbeda. Mereka mengisi waktunya dengan aktivitas yang menempa mereka menjadi manusia-manusia yang berisi, cerdas, optimis dan mengerti hak-haknya. Saya cuma bisa berharap, mudah-mudahan aktivitas mereka tidak lantas juga berhenti begitu lembaga-lembaga donor pergi dari Aceh.
Di tengah "stereotype" orang Aceh selama ini, anak-anak itu memberi seperti memberi harapan menuju Aceh yang lebih baik..